6 Nov 2013

MENYOALI BAHASA ACEH DALAM PERGAULAN SEHARI HARI



Tidaklah terlalu penting jika saya menyoalkan bahasa yang sehari-hari digunakan oleh masyarakat Aceh, namun ada beberapa dari penggunaan bahasa yang jika dikaitkan dengan kehidupan sosialnya  sedikit kurang relevan dan mengganjal hati kecil saya. Contohnya, disaat Mawa meminta Cabe pada Mawi;  
Miwa: Mawi lon lakee Caplie duaboh beuh.(mawi saya minta cape dua buah ya).
Mawi: Jeut neupot jue dilikot rumoh.(boleh petik aja dibelakang rumah).
Ini merupakan contoh dialog seseorang meminta Cabe kepada seseorang lainnya, sudah tentu dialog ini sangat sederhana dan seakan tidak ada yg perlu untuk dibahas. Tapi sekali lagi saya katakan ini khusus menyangkut kehidupan sosial di Aceh, sudah tentu ada perbedaan dengan daerah lainnya.  Perbedaan itu terjadi pada pemahaman kalimatnya, mungkin lebih tepatnya pada implementasi makna yg berbeda.  “mawi lon lakee caplie duaboh” (mawi saya minta cabe dua buah) dalam kalimat ini jelas bahwa Mawa hanya meminta cabe kepada mawi sebanyak dua buah saja. Tapi dalam kenyataannya Mawa memetik cabe dibelakang rumah Mawi lebih dari dua bahkan bisa mencapai lima genggaman tangan. 

Contoh lainnya, simawa berkunjung kerumah Mawi kebetulan dipekarangan mawi ada kebun kacang panjang, lalu dengan santainya siMawa ijin masuk kedalam kebun kacang tersebut; “Mawi..lon kalen-kalen kacang droeneh beh”(Mawi, saya liiat-liat kacang kamu ya), dari kalimat ini bukankah sudah jelas? Bahwa siMawa hanya melihat-lihat tanaman kacang Mawi. Tapi apa yang terjadi, tidak lebih dari lima menit Mawapun keluar dari kebun dengan menggendong beberapa ikat kacang panjang miliknya Mawi.

Ini hanyalah dua contoh dari sekian banyaknya kalimat dan kasus yang mengganjal dalam hati kecil saya. Memang contoh dua hal tersebut di atas sudah menjadi kebiasaan dan tidak lagi dipermasalahkan oleh orang Aceh, walaupun ada satu dua dari hal yang lazim itu menimbulkan ketidak senangan dan itu masih bisa ditolerir.
Akan tetapi masyarakat Aceh bukanlah masyarakat yang homogen, ia terdiri dari berbagai suku dan watak setiap sukunya yang berbeda.

Maka yang akan menjadi masalah adalah disaat Si Mawa meminta cabe kepada orang suku Jawa, karena yang ada dalam pemahaman suku Jawa jika yang diminta hanya dua maka yang diambilnya juga dua, bukan lima genggaman tangan.
Dan jika Si Mawa hendak melihat-lihat tanaman kacangnya orang suku Jawa, itu artinya tanaman kacangnya tidak akan dipetik oleh si Mawa.

Dan kalaupun saya mau mengaitkan hal ini dengan pemahaman agama, maka akan terjadi penilaian seperti ini;

  • Kalaulah terjadi SI Mawa memetik cabe suku Jawa dengan jumlah lima genggaman, itu artinya yang diikhlaskan sama SI Jawa hanya dua buah Cabe saja, dan selebihnya haram.

  • Dan Kalaulah Si Mawa memetik kacang panjang miliknya Si Jawa, maka kacang tersebut haram. Karena dalam pemahaman si Jawa, simawa tidak pernah meminta kacang, yang ada hanyalah melihat-lihat kacangnya.

 
Demikianlah persoalan sepele yang menurut saya harus diluruskan, karena dalam hal ini orang aceh telah mengkaburkan bahasa sebagai alat komunikasi, dan mengkaburkan semantik dari kalimat-kalimat itu sendiri. Lebih dan kurang saya Iskandar Muda minta maaf, wassalam..







Tidak ada komentar:

Posting Komentar