Tidaklah terlalu penting jika saya menyoalkan
bahasa yang sehari-hari digunakan oleh masyarakat Aceh, namun ada beberapa dari
penggunaan bahasa yang jika dikaitkan dengan kehidupan sosialnya sedikit kurang relevan dan mengganjal hati
kecil saya. Contohnya, disaat Mawa meminta Cabe pada Mawi;
Miwa: Mawi
lon lakee Caplie duaboh beuh.(mawi saya minta cape dua buah ya).
Mawi: Jeut
neupot jue dilikot rumoh.(boleh petik aja dibelakang rumah).
Ini merupakan contoh dialog seseorang meminta Cabe
kepada seseorang lainnya, sudah tentu dialog ini sangat sederhana dan seakan
tidak ada yg perlu untuk dibahas. Tapi sekali lagi saya katakan ini khusus
menyangkut kehidupan sosial di Aceh, sudah tentu ada perbedaan dengan daerah
lainnya. Perbedaan itu terjadi pada
pemahaman kalimatnya, mungkin lebih tepatnya pada implementasi makna yg
berbeda. “mawi lon lakee caplie duaboh” (mawi saya minta cabe dua buah) dalam kalimat ini jelas bahwa
Mawa hanya meminta cabe kepada mawi sebanyak dua buah saja. Tapi dalam
kenyataannya Mawa memetik cabe dibelakang rumah Mawi lebih dari dua bahkan bisa
mencapai lima genggaman tangan.
Contoh lainnya, simawa berkunjung kerumah Mawi
kebetulan dipekarangan mawi ada kebun kacang panjang, lalu dengan santainya
siMawa ijin masuk kedalam kebun kacang tersebut; “Mawi..lon kalen-kalen kacang droeneh beh”(Mawi, saya liiat-liat
kacang kamu ya), dari kalimat ini bukankah sudah jelas? Bahwa siMawa hanya
melihat-lihat tanaman kacang Mawi. Tapi apa yang terjadi, tidak lebih dari lima
menit Mawapun keluar dari kebun dengan menggendong beberapa ikat kacang panjang
miliknya Mawi.
Ini hanyalah dua contoh dari sekian banyaknya kalimat
dan kasus yang mengganjal dalam hati kecil saya. Memang contoh dua hal tersebut
di atas sudah menjadi kebiasaan dan tidak lagi dipermasalahkan oleh orang Aceh,
walaupun ada satu dua dari hal yang lazim itu menimbulkan ketidak senangan dan
itu masih bisa ditolerir.
Akan tetapi masyarakat Aceh bukanlah masyarakat
yang homogen, ia terdiri dari berbagai suku dan watak setiap sukunya yang
berbeda.
Maka yang akan menjadi masalah adalah disaat Si
Mawa meminta cabe kepada orang suku Jawa, karena yang ada dalam pemahaman suku
Jawa jika yang diminta hanya dua maka yang diambilnya juga dua, bukan lima
genggaman tangan.
Dan jika Si Mawa hendak melihat-lihat tanaman
kacangnya orang suku Jawa, itu artinya tanaman kacangnya tidak akan dipetik
oleh si Mawa.
Dan kalaupun saya mau mengaitkan hal ini dengan
pemahaman agama, maka akan terjadi penilaian seperti ini;
- Kalaulah terjadi SI Mawa memetik cabe suku Jawa dengan jumlah lima genggaman, itu artinya yang diikhlaskan sama SI Jawa hanya dua buah Cabe saja, dan selebihnya haram.
- Dan Kalaulah Si Mawa memetik kacang panjang miliknya Si Jawa, maka kacang tersebut haram. Karena dalam pemahaman si Jawa, simawa tidak pernah meminta kacang, yang ada hanyalah melihat-lihat kacangnya.
Demikianlah persoalan sepele yang menurut saya harus
diluruskan, karena dalam hal ini orang aceh telah mengkaburkan bahasa sebagai
alat komunikasi, dan mengkaburkan semantik dari kalimat-kalimat itu sendiri. Lebih
dan kurang saya Iskandar Muda minta maaf, wassalam..